Monster dan Kasih Sayang

Monster dan Kasih Sayang
Masih Menghisap Kasih Sayang Ibu Padahal Sudah Menjadi Monster

Jumat, 31 Juli 2015

Berdikari Butuh Tempat Berpijak

Berdiri di atas kaki sendiri. Bukan bersembunyi di ketiak orangtua. Bisa juga tidak menegadahkan tangan untuk menerima lembaran-lembaran berkekuatan. Tidak juga tiduran di bawah cucuran keringat orang lain yang mengaliri diri.

Sudah cukup katakan itu. Saatnya melatih diri menghargai perjuangan. Walaupun masih merambat pelan di atas tempat berpijak yang tajam seperti karang dan keras seperti bebatuan.

Bukankah berdikari butuh tempat berpijak.
Seberapa lama diri ini sanggup berdiri jika berpijak di tempat yang tidak tepat.
Yakinkanlah bahwa tempat berpijak itu tepat hingga bisa berdikari dengan sangat senang dan menjiwai.
Nestapa akan melanda jika hanya ingin berdikari tapi tak punya pijakan yang mantap.

Aku mulai mencari bahan-bahan dan unsur-unsur yang dapat kujadikan pijakan. Seistimewa dan senyaman mungkin. Sehingga suatu saat nanti dan kuharapkan tidak lama lagi bisa benar-benar berdikari dan bertahan dari goncangan apapun.

Semua kaki di bumi butuh pijakan. Air dan tanah. Api dan udara.

Kamis, 30 Juli 2015

Terperangkap Merasa Kekecilan

Aku masuk ke dalam ruang yang amat besar. Tak kulihat batas dan tak kulihat sudut. Aku melangkahkan kaki tapi tak juga kutemui ujung. Kupandangi sekitar tapi tak kutemui apapun. Tak ada apapun di sekitar. Di atas pun tak ada langit dan di bawah pun tak ada tanah. Di segala penjuru hanya putih ataukah kuning yang menyilaukan. Hanya diriku sendiri saja yang dapat kulihat. Tubuhku saja. Jelas jiwaku tidak kulihat.

Pernahkah merasa kebesaran? Menjadi diri paling besar hingga semua yang di sekitar adalah kecil dan merasa ruang gerak terlalu sempit. Padahal jiwa sendiri saja belum bisa dilihat. Pikiran juga masih belum bisa meloncat dari kepala. Bahkan hanya tertunduk dan meringkuk di pangkal leher. Hanya tubuh. Seonggok tubuh. Hanya balutan daging pada tulang.

Tidak pernah tahu juga siapa yang mencoba menangkap diri dengan membuat perangkap. Sepertinya ruang ini masih terlalu besar untuk diri yang sangat kecil. Hanya setetes air di lautan. Tak pernah kusangka ada yang merasa kekecilan dengan semuanya. Mencintai hal kecil pun mungkin tak sanggup. Lalu kenapa ada yang merasa kekecilan.

Aku justru merasa teramat kebesaran dan ingin memulai dari sesuatu yang kecil. Cinta dari hal kecil.

Rabu, 29 Juli 2015

Laguh-lagah Menerawang Kecemasan

Memangnya hanya dukun yang bisa menerawang. Aku pun bisa asalkan pakainmu berbahan dasar benang yang tak padat. Terawangan yang membuatku terpana senang. Laguh-lagah kesenanganku tak pernah padam ketika kulit lembutmu bisa kurasakan walaupun dari kejauhan.

Lalu suatu malam ketika kipas ruangan lebih kencang suaranya dari apapun. Terbangnya hewan kecil pun terdengar ketika sayap-sayapnya mengepak. Aku cemas dengan semua hal. Kemudian kecemasanku sanggup menghilangkan suara kipas dan terbangnya hewan.

Di dalam kecemasan ternyata ada harapan ataukah harapan berdampingan dengan kecemasan. Dua rasa dalam satu dunia yang mampu mengganggu siapapun juga jika mau merasakannya. Siapa memangnya yang tidak pernah cemas karena harapannya menjadi buram tak terang walaupun bersinar?

Hati besarku berkata bahwa laguh-lagah kecemasan perlu diterawang agar semuanya jelas. Sejelas harapan yang tak pernah diragukan karena sebuah lakuan. Betul aku harus berlaku untuk harapan agar kecemasan terbanting dan terusir dari laguh-lagah kehidupan.

Selasa, 28 Juli 2015

Nestapa Dirundung Rasa Malu

Tersandung batu karang. Tapi tak jatuh karena tanganku kau raih. Melewati gerigi batu karang bersamamu. Sakit tapi tidak terlalu seperti ketika kusendiri. Dayamu seperti imunisasi yang mengebalkan tubuhku. Tak jadi jatuh dan tidak kesakitan.

Harapanku besar untuk menyusuri karang di pesisir pantai itu bersamamu. Aku menikmati deburan ombak yang tidak sampai mengusap kulitku. Semilir angin pun layak kupuji karena belaian mesranya di helai rambutmu. Lalu terkibas-kibas dihadapanku. Mau kutangkap rasanyanya.

Tak berselang lama. Aku hampir terjatuh tapi kau menolongku lagi. Aku pun mengelus kebaikan tanganmu. Cantik rasanya lentik jemarimu. Lalu kupegang erat sembari perjalanan ini terus kunikmati. Ternyata semua rasa ini mampu mengusir sakit pada telapak kakiku. Menginjak karang seperti menginjak pasir.

Sepanjang perjalanan kunikmati itu dan ternyata pertolonganmu begitu besar. Uluran tanganmu tak pernah kulupakan sedangkan sekarang tanganku tak menggenggam lagi lentik jemarimu. Nestapa dirundung rasa malu karena kebaikanmu di masa lalu yang menyentuhku dan kurindukan itu.

Senin, 27 Juli 2015

Matahari dan Malam Hari Mencipta Sore

Sore itu adalah pertemuan antara matahari dan malam hari

Sungguh indah sore itu. Matahari dan malam hari berkolaborasi untuk sebuah pementasan sore yang indah. Sinar sore mulai diredupkan dan ditimpali dengan nuansa gelap malam yang terkontrol. Suasana luar biasa karena pemandangannya yang tak biasa jika kusadarinya.

Siapa manusia yang tak mengenal sore. Bahkan waktu sore telah mendapat tempat istimewa. Aku pun mengalaminya. Apalagi sore itu. Sebuah sore dari matahari yang bertemu malam hari. Aku sangat merindukan sore itu. Kamu telah menjadi bagianku dan merasuk ke dalam gelapku.

Sayang sekali sering kurasa kecewa ketika dia harus tenggelam dalam gelapku. Lalu dia mengusirku di kala pagi dan menguasai setengah waktuku di hari itu. Kamu bisa teramat panas juga. Akan tetapi itulah yang membuatmu tetap matahari karena tak kusangka terang malam yang romantis itu ada karena sengat kuat sinarmu waktu siang.

Beruntung ada sore yang kita ciptakan. Semoga ada sore-sore lagi untuk kita bertemu. Aku rindu.

Minggu, 26 Juli 2015

Alkisah Manusia Tuan Kata Tak Berdaya

Kata adalah budak perasaan manusia yang terkadang dia tidak bisa menyampaikan dengan baik perasaan tuannya

Aku memanglah tuan dari kata. Bukannya menganggap kata selayaknya budak karena dari hatiku yang terdalam, kata adalah sahabat yang tiada tandingannya. Kubisa bertahan karena kata telah menjadi bagianku selama ini. Aku berkata-kata untuk bertahan. Kata menjadi salah satu pengungkap rahasia seseorang.

Namun, apalah daya. Kata tak pernah memerintahku. Adapun di jalan-jalan dan larangan-larang juga bukan kemauan kata itu sendiri tapi kemauan pembuatnya. Kata terpontang-panting ke mana-mana. Dia sangat tak berdaya karena kemauan manusia.

Sekarang aku tahu bahwa kata memiliki kekuatannya. Dia bisa menyimpan kekuatannya karena tak semua rasa bisa terlontar dengan baik oleh kata. Dia begitu perkasa dalam hal ini. Tak mengherankan banyak orang menggalinya untuk menemukan kata yang tepat hingga menerbitkannya. Tentu saja kata yang mirip dengan perasaanya karena rasa tak mungkin tersamai oleh apapun itu.

Manusia merasa tuan dari kata tapi sebenarnya dia tuan yang tak berdaya.

Sabtu, 25 Juli 2015

Mengkultuskan Cinta Masif Perjuangan

Cinta sedang bercinta pada kecintaannya. Lalu percintaannya dikultuskan karena cinta memang layak dianggap sebagai sebuah sikap penting. Apalagi cinta menjadi masif untuk menjalani perjuangan dan bulat hingga mudah menggelinding menghadapi jalanan.

Cinta memang harus berjuang dan karena perjuangan membutuhkan cinta. Perjuangan akan lesu jika cinta tak menjiwainya. Mendewakan cinta yang padat dan kuat memang sudah selayaknya agar lakuan menjadi bermakna dan bertenaga karena perjuangan membutuhkan asupan nutrisinya.

Setiap hari cinta dikikis untuk menjadi tak padat lagi. Cinta dilunakkan hingga terkadang kecintaan menjadi lumpuh tak bisa berjalan. Perjuangan pun harus terbaring di ruang perawatan. Sangat penting mempertahankan cinta untuk menjadi bagian dari perjalanan. Pantaslah dia dikultuskan.

Akupun ingin bercinta dengan cinta setiap harinya. Lalu melahirkan semangat perjuangan dan lakuan untuk ruang hidup ini. Seandainya cinta adalah agama.

Jumat, 24 Juli 2015

Takjub Mengintai Penuaan Ketakutan

Seperti anak kecil yang terkejut kakeknya menjadi seperti anak kecil.
Seperti kakek yang cucu kecilnya sering terkejut dan takjub.

Takjub telah menjadi gula dari si kopi kental manis yang tak bisa dipisahkan lagi dari hidup. Seperti nikmat menyeruputnya di pagi hari saat matahari yang tak kutahu dari mana datangnya. Ketika terbit sudah berdandan layaknya datang ke sebuah hajatan. Datang juga bulan di saat malam yang tiba-tiba memancarkan cahayanya yang agak buram namun tetap kulihat lekuk cangkir kopiku tadi pagi yang masih menghiasi meja teras tak beratap.

Semakin malam. Semakin ketakutan melanda. Aku tak takut gelap tapi merasa semakin malam akan semakin banyak yang harus kupertanggungjawabkan. Apalagi malam-malam telah berlalu dan pasti datang lagi di waktu yang tak bisa terhindarkan. Aku mengalami penuaan dan ketakjuban tak henti-hentinya datang untuk memberhentikan lamunan malam.

Aku pun takjub melihat penuaan ketakutan yang tak semakin renta tapi semakin menjadi dan kuat. Lalu berkuasa. Ketakutanku telah ditopang pilar-pilar beton yang tak bisa dirobohkan. Aku takjub merasakannya. Mungkin kamu juga.

Aku takjub melihat ketakutan tidak segera mati. Bahkan mungkin sampai kematian pemilik ketakutan itu datang.

Kamis, 23 Juli 2015

Sikap Tepat Beda Gaya

Tersadar seketika ketika kesadaran dengan mudah direnggut oleh khayalan. Padahal ini bukan khayangan dan masih kenyataan. Melihat sekitar seperti warna yang beraneka dan sanggup memiliki kombinasi tak terbatas jika jeli melihatnya. Perbedaan memang merajalela namun tetap harus santun terhadap yang lainnya.

Jika mengatakan kesamaan. Bukankah itu hanya celoteh belaka. Perbedaan adalah realita dan bagaimana bisa saling menghargainya. Begitu juga sikap manusia yang tak terhingga banyaknya. Seorang pribadi saja dapat bersikap begitu banyaknya walaupun memiliki kadar yang berbeda dari sikap yang utama dan sering dipakai.

Ada yang bangga dengan selera humornya, ada yang pendiam dengan ketulusan merpatinya, ada yang berani dan berbicara tanpa henti tapi berlaku juga, ada yang usil tapi membangkitkan gairah sesama. Di pihak lain ada beberapa orang yang merasa humor lebih istimewa dari diam. Ada pula yang berpikir bahwa usil akan lebih mengasikkan daripada di usili.

Sebenarnya menurutku beda gaya sudah biasa dan jangan pernah menganggap gaya lain lebih baik sehingga mencoba-coba membunuh gaya sendiri untuk memakai topeng gaya lain. Semuaya sudah mendaging pada setiap diri walaupun masih bisa diolah. Mengolah bukan berarti mengubah dengan bertopeng tapi bertahap.

Akan tetapi apapun gayamu. Sikap tepat dan menjadi penghumor yang berguna. Pendiam yang berguna. Pembicara yang berguna. Pemikir yang berguna. Masih banyak lagi.

Bukankah kegunaan kita yang ditunggu-tunggu oleh dunia dengan berbagai gaya masing-masing.

Rabu, 22 Juli 2015

Cintaku Ladung pada Alam Mimpi

Ladung.
Tidak mengalir dan tidak meliuk. Berhenti seperti embun di atas daun.

Apakah yang memulai kehidupan? Alam mimpikah? Ataukah kenyataan akan membawa manusia ke alam mimpi dan alam itu tidaklah berpintu lagi ke realita? Sehingga orang yang sudah masuk ke dalam lebarnya pintu alam mimpi tak akan bisa keluar ke realita karena setelah masuk manusia akan kesulitan menemukan pintu keluarnya.

Pintu alam mimpi memang begitu lebarnya dan di sana aku menjadi tak terbatas dan tak terbendung. Siapa yang bisa menentangku di sana. Tak seorang pun mengetahui alam mimpiku. Kecuali aku bercerita kepada orang-orang yang kupercaya bisa menjaga alam mimpi rahasiaku. Bahkan, ceritaku pun tak sanggup mewakili sepenuhnya perasaanku di alam tersebut.

Begitulah. Alam mimpi begitu indah tapi keindahan alam mimpi hanya dapat dinikmati dalam mimpi. Di sisi lain, kenyataan terus menyentuh tubuh yang menghuni realita. Menggerakkan tubuh bukan sebuah perkara yang mudah karena realita tidak bisa disamakan dengan alam mimpi. Di realita aku tak bisa hidup semaunya sendiri dan hidup sebebas-bebasnya tanpa batas.

Menyemburkan cinta di realita juga tidak semudah bergerilya pada alam mimpi. Mungkin cintaku masih ladung di alam mimpi karena masih merasa terlampau senang di tempat itu.

Selasa, 21 Juli 2015

Kekuatan Rindu Bukan Kekuatanku

Hai rindu yang kita ciptakan. Dia sekarang telah menjadi seseorang. Rindu bukan lagi sebuah kata yang kita mengerti karena rindu sudah menjadi pribadi.

Sebelum kelahirannya. Kitalah ayah dan ibunya. Kita membuat sebuah cerita dan kita menikmatinya. Seandainya saja cerita itu terus kita jalani maka rindu tak pernah lahir di antara kita. Semuanya sudah berubah. Kita telah meninggalkan banyak peristiwa bersama dan sebuah cerita yang tidak pernah kita jalani lagi. Dari itulah rindu lahir dan sekarang telah menjadi pribadi yang dewasa karena sudah lama sekali dia ada. Sejak kita tidak pernah mempertemukan lagi peristiwa dan cerita kita.

Rindu sudah bisa hidup tanpa kita walaupun aku sendiri merasa kehilanganmu. Beruntunglah rindu yang pernah kita lahirkan masih seringkali mengunjungiku. Terima kasih rindu dan terima kasih kamu yang telah melahirkan rindu.

Aku ingin membesarkan rindu tanpa sepengetahuanmu. Semoga rindu juga dapat mengunjungimu nantinya.

Senin, 20 Juli 2015

Hanyalah Secuil dari Jalanan

Jalanan selalu memberikan jalan. Tidak ada perjalanan yang tak membutuhkan jalan. Seandainya jalan itu belum ada namun ketika aku sudah menjalaninya maka jadilah ketiadaan itu jalan. Mungkin saja itulah jalanku tetapi tidak kuharapkan juga menjadi jalan setiap orang. Berjalan tidak harus di jalan. Jalani dan jadilah itu jalan di kemudian.

Setiap jalanan akan memberikan jalan walaupun tidak semuanya berkisah mendalam. Terkadang aku mendapatkan tumpukan cerita. Tetapi sering pula hanya kudapatkan secuil kisah namun sangat berarti. Secuil kisah yang mengingatkanku bahwa jalanan mampu mengakhiri sebuah kisah pula. Maka sangat wajib mempelajari jalanan karena jalan begitu menyenangkan namun dapat membahayakan. Bukan untuk bermain aman namun untuk tahu kapan harus berani keluar dari rasa aman karena keamanan pasti kudapatkan.

Di jalan ada sebuah keadaan dan resiko. Apalagi jalan yang aku pilih terkadang juga jalan yang dipilih orang lain. Bukan untuk bersaing kuat-kuatan menggilas jalan namun untuk selalu bersiaga dengan situasi tidak aman yang diciptakan oleh pejalan lainnya.

Akan tetapi, semua itu tidak membuatku berhenti untuk berjalan di jalanan dan mencoba membuka sebuah jalan. Lalu kemudian menjadi jalanan banyak orang.

Minggu, 19 Juli 2015

Perbudakan dari Ketakutan

Aku berbicara pada ketakutan bahwa tak ada yang sanggup merajai diriku. Ketakutan bukanlah belenggu yang memenjarakan diriku. Ketakutan tak lebih dari seekor ayam yang berlari hanya dengan sebuah gertak. Maka bersuaralah aku tentang sebuah perbudakan yang ditelurkan oleh ketakutan.

Aku ingin menghentikan ketakutan dan jika sanggup akan kubungkam lalu kutawan di Nusa Kambangan. Biarlah dia tidak sanggup berlari lagi menjelajahi kehidupanku. Sudah cukup perbudakannya selama ini. Gerak ketakutan telah membuat langkah kakiku tidak sejauh yang seharusnya terjadi.

Akan tetapi, melawan ketakutan tidak akan cukup hanya dengan keberanian tapi meninggalkan sebuah kecerdikkan. Keberanian hanyalah salah satu modal untuk mengatasi ketakutan. Bisa terbunuhlah aku jika hanya membawa keberanian ke medan perang. Sedangkan busur lawan siap dilemparkan ke jantungku.

Menghentikan perbudakan dari ketakutan membutuhkan kecerdikkan. Keberanian yang beralasan.

Sabtu, 18 Juli 2015

Tatapan Katamu Memilukan

Pilu ketika gencatan kata-kataku tak pernah berlabuh. Hanya menuju lalu pergi jauh mengikuti angin. Sebuah katamu hanyalah tatapan penuh gencatan yang tak sanggup menyentuh kedalaman relung jiwa. Katamu hanyalah reaksi akan kata-kataku yang meluncur deras tanpa mendapatkan saringan dari tuannya. Perasaannya begitu tak terbendung untuk memilah mana yang harus keluar dan mana yang harus bertahan di persemayaman kata.

Katamu memang menatap dan mengacaukan gerak hidupku. Kata itu terus melihat dengan kuatnya walaupun hanya sebuah kata. Kata itu telah mengubah arah mata angin dan putaran jarum jam. Seketika aku kelimpungan melihat kakiku sedang berpijak di mana dan apakah akan kuteruskan. Rasanya keputusan harus segera tercetuskan untuk mengembalikan langkah pada relnya.

Tatapan katamu sudah bukan bentuk tatapan yang melirik lalu memperhatikan. Sepertinya tatapan itu adalah sebuah kemarahan. Tatapan kata yang penuh amarah telah kau selimuti dengan sebuah kata. Tidak ada yang sanggup menafsirkan secara tepat dan mengambil sebuah manfaat.

Sudah tepat rasanya jika aku memalingkan tatapan katamu. Lalu menatapkan kataku kepada tatapan kata yang lainnya.

Jumat, 17 Juli 2015

Sedingin Air Membekukan Rasa

Aku tahu bahwa kamu sedingin air membeku
Tapi air membeku masih bisa mencair
Tunggu waktunya akan tiba
Tinggal kualirkan hawa panasku
Bahkan kutub utara pun akan merestui

Aku melewati jalan terjal berkelok untuk sampai pada puncak gunung. Kuajak kamu ke tempat itu untuk merasakan dinginnya. Sama sepertimu. Imajinasiku menyeretmu ke tempat itu. Ketika kulit tipismu harus tertusuk-tusuk dingin yang mendinginkan. Kamu tak bisa bergerak dan hampir beku dan aku hampir tak bisa menolongmu. Diriku pun butuh pertolongan.

Kamu tampak ingin melompat. Padahal aku yang ingin melompat ke jurang yang dalam. Kamu mungkin merasakan betapa hebatnya pertarungan di dalam hati manismu. Sepertinya pahitku telah merasuk ke dalam kemanisanmu. Kamu menjadi tidak lagi seperti yang dulu. Seperti yang sekarang tapi tidak kuinginkan apalah artinya bagiku. Padahal bagimu itu yang sangat berarti.

Kamu telah pergi ke jalan yang menurun dan merasakan kebebasanmu sedangkan aku masih tersangkut di puncak gunung. Ternyata kamu menurun untuk terbang ke langit-langit setelah aku mencoba menuruni turunan itu. Kamu mengenakan parasut dan aku menggunakan mata untuk tetap mengamatimu.

Kamis, 16 Juli 2015

Kisah Basah Hujan dan Tanah Kering

Tentang sebuah pergumulan dan persetubuhan yang tidak setiap hari terjadi. Kerinduan yang sudah tertanam dan tak akan tercabut. Bahkan oleh angin topan. Sebuah harapan tentang berbagai kasih pertemuan.

Seandainya tanah tahu di mana sumber hujan. Dia akan rela pecah menjadi lembut debu yang membumbung ke tempat hujan. Walaupun jika terjadi demikian hujan tak akan mengenal tanah. Namun tanah rela asalkan hujan berada tepat di hadapan.

Sudah lama. Tanah merindukan hujan yang enggan untuk datang. Tanah dan di dalam tanah masih ada tanah. Tidak tahu sampai di mana tanah yang bawah. Semua rindu hujan yang datang dari atas. Sentuhan hujan akan membuat tanah riang dan beraroma. Lebih wangi dari wangi lainnya. Walaupun tak pernah tahu siapa pemilik harum itu. Milik hujan ataukah tanah.

Tapi tanah yakin bahwa hujan masih ingin bersentuhan dengannya. Seandainya saja hujan bisa menahan dirinya tak jatuh ke bawah karena gravitasi. Apakah rela basahnya menyentuh tanah cokelat yang kering? Tapi tanah yakin bahwa sesungguhnya kerinduan hujan pada tanah sangat mendalam.

Tak disangka. Ternyata tanah mencintai banyak hal. Dia cinta bunga. Dia cinta pohon. Dia cinta pada akar-akarnya. Tanah cinta pada burung pemangsa sekalipun. Rupanya tanah rindu hujan dan mencintai hal lainnya. Bagaimanakah perasaan hujan?

Kerinduan tipu daya untuk banyak cinta.
Sekarang hujan merasa kecewa dan tanah bahagia karena hujan telah menyentuhnya dan membasahinya. Bahkan tanah mengantongi banyak basahnya ke dalam tanah. Lau membaginya kepada cinta-cintanya.

Tapi kerinduan hujan ternyata tak hanya pada tanah. Dia lebih dulu jatuh pada dedaunan. Jatuh cinta. Mengalir ke ranting. Berhenti satu detik dan masuk pada pori kulit tumbuhan yang terluka. Lalu menelusuri kulit pepohonan dan menyentuh tanah. Sekarang tanah merasa sangat tidak adil. Tanah hanyalah pijakan yang berada di paling bawah.

Pikiran tanah kepada hujan membuatnya tak senang dengan dirinya sendiri. Padahal hujan sungguh rindu tanah. Mengalir melewati apapun. Sampai akhirnya basah hujan juga akan sampai dan berakhir pada tanah. Hujan pun menyerahkan dirinya seutuhnya pada tanah untuk membiarkan tanah mengeluarkan banyak cinta. Banyak kehidupan.

Sebuah kerinduan hujan dan kerinduan tanah. Masihkah cinta harus berlogika dan beralasan?

Rabu, 15 Juli 2015

Penjual Topeng Kebanjiran Pembeli

Senangnya wajah bisa ditutupi.

Penjual topeng kebanjiran pembeli karena hampir setiap waktu orang berganti topeng

Suatu terik di pasar topeng. Pengunjung berkerumun membawa sebuah karung dan tas-tas besar. Dia rela mengeluarkan apapun yang dia punya untuk membeli topeng. Sangat penting untuk dirinya dalam kehidupannya. Penjual pun kebingungan karena ramainya. Padahal dia juga harus sering-sering mengganti topengnya.

Aku terkagum padanya. Terkagum pada dirinya.
Aku cinta dirimu. Bukan cinta topengmu. Seandainya kamu masih gemar memakainya. Sudah pasti tak kan kucintai kamu. Buat apa harus cinta kepada topeng?

Seiring berputarnya waktu. Sore hari kala itu. Kududuk di samping sebuah lemari kayu tak berpintu. Tak kusangka aku pun menyimpan topeng. Aku lupa. Begitu banyaknya melebihi kemejaku. Apakah aku pernah memakainya?

Waktu memperbanyak topengku. Aku ingin menguranginya dan membuangnya. Tapi apa daya. Sudah banyak yang tak menghargai perbedaan wajah. Tidak sanggup saling menghargai perbedaan dan bisa saja aku akan mendapatkan banyak masalah jika kucoba melepaskan. Orang lain senang ketika diriku berwajah sama dengannya.

Aku tidak tahu. Apakah ini topeng ataukah penempatan. Namun yang pasti aku ingin menunjukkan wajahku yang sebenarnya dan terus berkembang menjadi wajah yang selanjutnya. Jelas itu berbeda dengan berganti-ganti penutup muka.

Selasa, 14 Juli 2015

Memelihara Ribuan Kepentingan

Semakin banyak langkah hati menyusuri cinta dan kehidupan. Tersentuh lalu menyembulkan kepentingan. Murni dan imitasi sulit dibedakan. Semakin pikiran menjelajah ilmu pengetahuan. Terbersit banyak keingintahuan. Lalu menjadi kepentingan. Semakin memiliki banyak hal dan tak bisa merelakan beberapa hal. Kepentingan menjadi pengacau semuanya.

Mengutamakan kepentingan di saat yang tepat tidaklah mudah. Ribuan kepentingan ingin didahulukan dan di tempatkan paling depan. Begitulah kacaunya. Membuat diri tak tenang dan terkadang menjadi penghalang sebuah lakuan. Memelihara ribuan kepentingan membutuhkan pengaturan dan ketepatan.

Siapa yang tidak punya kepentingan?

Kepentingan bukanlah kesalahan. Dialah jalan kebenaran yang ada untuk membuat manusia bertahan. Tetapi jangan heran bahwa dialah pengacau manusia jika tak bisa mengendalikannya.

Pernahkah membayangkan tabrakan kepentingan? Lalu kecelakaan dan kepentingan yang satu dan kepentingan yang dua sama-sama remuk tak berbentuk. Aku mengalami kekalutan ketika harus memilih hal yang satu daripada hal yang lain. Tidak semua hal bisa berjalan bersama.

Sepertinya mengutamakan hal yang penting adalah kepentingan yang sebenarnya. Walaupun pentingku dan pentingmu sangatlah berbeda. Namun aku ingin penting bagi sekitarku yang sudah mulai tak mementingkan sekitarnya.


Senin, 13 Juli 2015

Memperluas Kawasan Hidup

Ketika aku baru lahir. Kawasanku hanyalah dipelukkan dan pangkuan ibu serta gendongan bapakku. Berada di atas tempat yang maha empuk adalah hal yang tidak bisa terhindarkan lagi. Kenyamanan sudah kudapatkan karena daerahku memang nyaman. Terlebih perlindungan tidak pernah berhenti kudapati. Peran orang tua sangat terasa. Seandainya saja aku masih mengingat semua itu?

Seiring berjalannya waktu. Aku mulai belajar keluar dari tempat yang maha nyaman itu. Kawasan itu terlalu sempit untuk diriku. Mau atau tidak mau aku harus mulai memperluas kawasanku. Sayanglah pengetahuanku juga teramat kecil dan kakiku masih belum bisa menjadi tumpuan tubuhku untuk bergerak.

Akan tetapi. Sadar ataupun tidak. Aku mulai berjalan dengan resiko mendapat luka goresandari  tanah kering, kerikil yang menjamah lutut dan terkadang tubuhku jatuh terbaring dan berbenturan dengan benda keras. Aku yakin cerita itu ada walaupun daya ingatku tak mampu menjangkau kisah itu.

Semakin hari pengetahuanku semakin bertambah. Bahkan kakiku juga sanggup berlari. Aku mulai mengenal banyak hal baru yang terkadang tidak nyaman bagi pikiranku. Aku juga mulai mengenal tempat yang semula asing tetapi lama-kelamaan tempat itu menjadi kawasan yang nyaman bagiku. Begitu pula dengan pengetahuan baru. Aku tidak bisa berhenti untuk memperluas kawasan hidupku.

Tantangan yang asing bermunculan dan tidak pernah kutahu sampai kapan aku bisa memperluas kawasan nyamanku. Akan tetapi aku akan berani berusaha walaupun ketakutan itu pasti ada. Kawasan ini tidak cukup bagiku. Aku harus bergerak lagi untuk menantang kawasan yang lainnya.

Keluarnya aku dari zona yang nyaman bukan untuk meninggalkannya tetapi untuk memperluasnya. Butuh kemauan dan keberanian yang cerdas tidak asal melangkah. Semuanya dengan proses belajar. Semua hal itu harus dilakukan sampai puncak yang maksimal.

Minggu, 12 Juli 2015

Gencar Banting Mulut tetapi Tidak Mau Banting Tulang

Siapa yang memilih duduk santai tidak mau banting tulang setelah dengan gencarnya banting mulut?

Suatu hari aku pernah duduk termenung untuk merenungkan apa yang sudah aku lakukan. Diri tanpa lakuan adalah ketiadaan. Padahal aku ingin ada dan berguna.

Mungkin ide melompat dengan jauhnya lewat mulut-mulut terampil yang rajin berceloteh tentang banyak hal. Akan tetapi semua itu hanya kekonyolan yang tidak akan berarti jika tangan tak mampu mengeksekusi untuk membunuh kemalasan yang sudah terpupuk sejak lama.

Gencar banting mulut hanyalah suara yang terbang diterpa angin. Tidak tahu akan ke mana perginya tetapi percayalah itu tidak akan berarti apa-apa. Sudah banyak yang berkoar tentang sesuatu yang ada di dalam kepalanya tetapi hatinya dusta dan penuh nanah. Seandainya lalat bisa menjangkaunya pastilah dia akan terbang ke sana.

Bukannya tak boleh gencar banting mulut hingga berdarah-darah. Melainkan bergerak untuk banting tulang juga harus ditempuh. Hidup tidak cukup sampai mulut menggema. Lakuan yang sekecil apapun harus kutempuh apapun hasilnya dari apa yang idealnya. Sudah selayaknya manusia berusaha gencar dalam segala hal. Baik mulut maupun tulang.

Sabtu, 11 Juli 2015

Pengagum Getaran Gendang Telinga

Diriku tanpa gendang telinga yang bergetar adalah sia-sia. Beruntunglah jika getaran itu masih terasakan dan bukan hanya dianggap sebagai reaksi pada bagian tubuh belaka yang tak berarti apa-apa.

Suatu suara dari manapun sumbernya adalah aksi yang pantas untuk diberi reaksi. Paling tepat ketika gendang telinga bergetar hingga mengirim sinyal ke kepala dan merasuk ke dalam ruang jiwa. Lalu jiwa yang terbalut daging dan kulit ini bergerak untuk melakukan sesuatu. Susahnya memang tiada tara untuk menjadi pemilik reaksi yang semestinya. Getaran gendang telinga menunjukkan bahwa aku masih bisa mendapatkan sesuatu dari suara maupun nada.

Reaksi gendang telinga memang luar biasa dan tanpa kontrol dari pemiliknya. Apapun suara itu mampu menyentuh dan menggetarkannya. Membuatku terkadang tak kuasa untuk menahan suara-suara yang tidak aku inginkan. Begitulah gendang telinga bekerja tanpa pandang bulu dan tanpa tebang pilih.

Dari sebab itu aku mengagumi gendang telinga yang mampu menerima apa saja. Lalu diri ini harus siap apapun sinyal yang sampai ke kepala dan masuk ke dalam ruang jiwa. Apakah diri ini siap apapun sinyalnya? Itu yang menjadi tugasku untuk membuat sinyal itu menjadi buah-buah yang berguna untuk siapa dan apa saja.

Musuh gendang telinga hanya diri yang maunya berbicara sendiri tak menghargai dan pikiran liar yang menjalar menjauhi realita ketika gendang telinga bekerja.

Getarkanlah gendangku untuk membantu gerak tubuhku.

Jumat, 10 Juli 2015

Pengap dan Pengar di Ruang Kepala

Sebelumnya ruang kepala kosong tak berpenghuni. Seiring waktu yang tak pernah lelah dia telah banyak dikunjungi dan ditinggali. Ruang yang kosong menjadi gaduh tanpa kompromi. Pengunjung beragam dan tingkahnya bermacam-macam. Dia juga seenaknya sendiri mendatangi tiap-tiap bilik di kepala dan pergi meninggalkan jejak yang tak terdeskripsi. Sedangkan penghuni punya tingkahnya sendiri hingga saat ini.

Dulu ruang itu kosong dan begitu tenang. Ruang itu hanya terisi kegembiraan permainan yang tak beresiko. Lari-lari dan bercanda hanya memerlukan mulut yang menganga tanpa logika. Ruang itu hanyalah bagian kecil yang manja untuk duduk tenang di atas leher.

Terkadang kerinduan datang tanpa kuundang. Kurindukan ruang lenggang yang tak begitu penuh dengan persoalan. Aku menjadi heran ketika sebuah ruangan menampilkan berbagai hunian dan penghuninya. persoalan timbul dan tak terkontrol. Rupanya aku belum bisa menjadi tuan atas ruang itu.

Menghentikan kekacauan menjadi tugasku. Menatanya untuk menjadi ruang yang istimewa. Mendambakan ruang yang tak pengap dan melepaskan pengar dengan cepat. Aku ingin menambahkan lebih banyak lagi isinya tetapi ruang itu tetap bisa menjadi ruang yang nyaman selayaknya dulu dan selayaknya manusia.

Kamis, 09 Juli 2015

Lamunan Pintu Rimbaku

Lamunan tidak membenturkanku pada kesakitan. Dialah pintu rimbaku yang membuatku tak terbendung untuk memandang sesuatu. Keliaranku menjadi semakin teruji untuk menjelajah setelah melewati sebuah pintu. Lamunan telah mengantarku menjadi manusia yang merdeka dan bahagia.

Lamunan bisa berawal dari kenyataan menuju impian. Lamunan bisa berawal dari impian yang belum menjadi kenyataan. Akan tetapi, aku bisa bertahan berkat lamunan. Dia telah mengantarku ke dalam rimba dan aku berkecamuk di sana untuk menemukan hal-hal baru yang tidak biasa.

Membayangkan rimba di kepala bukanlah perkara yang mudah tapi lakukanlah lamunan akan rimba itu. Di tempat itu akan ada ratap tangis dan gertik gigi. Aku juga menemukan kebahagian tipu daya yang bisa saja terlaksana menjadi realita. Ide bertebaran di lorong-lorong sempit jalanan berumput liar. Singa pemangsa mengajarkanku untuk bersembunyi dan berlari hingga di saat yang tepat akulah pemangsanya.

Rimba yang ada di kepala adalah lamunan yang tiada bandingannya. Mengantarku menjadi manusia yang berguna walaupun sendiri tanpa diskusi. Pikiranku terbelah sendiri dan diri ini menjadi banyak pribadi yang mampu saling berceloteh untuk mengungkapkan sesuatu.

Mencari yang terbaik tak harus keluar dari pintu kamar tapi keluarlah dari realita sejenak dan masuklah ke dalam rimba. Lamunan adalah pintunya.

Rabu, 08 Juli 2015

Seulas Harapan Perampok Kehidupan

Terpercik raut kehidupan yang terkadang absurd. Tak tertebak. Harus siap sepanjang waktu untuk menerima percikan dari raut itu. Namun aku ingin tetap berharap untuk menjalani kehidupan dengan terus berjalan menuju kesempurnaan. Sebuah permenungan seorang perampok.

Seulas harapan yang kuinginkan menjadi kenyataan. Aku harus tetap dalam perjalanan dan bukan di perhentian. Aku ingin menuju kesempurnaan yang tidak tahu di mana tempatnya dan mungkin kesempurnaan tidak berada di sebuah tempat. Akan tetapi, kesempurnaan adalah gerak perjalanan.

Seperti perampok yang berani mengambil sesuatu apapun resikonya. Aku ingin mendapatkan sesuatu dari kehidupan dengan mengambil pelajaran yang dihidangkan. Kehidupan menawarkan banyak pengetahuan dan aku ingin merampoknya. Kadang harus memaksa diri untuk menjadi berani. Lalu harus bisa memaksa sesuatu yang terkadang terjaga dalam kehidupan.

Seulas harapan yang akan menjadikanku semakin manusia walaupun harus merampok. Kriminal kehidupan dan pengetahuan untuk kesempurnaan.

Selasa, 07 Juli 2015

Makalah Cinta tanpa Kesimpulan

Aku belum bisa membuat kesimpulan tentang siapa kamu
Seandainya aku sudah bisa menyimpulkan
Pastilah ini penutup dari cerita yang sedang aku buat

Terjadilah peristiwa di mana aku menuliskan kisahku. Walaupun tidak ilmiah, cerita ini layaknya sebuah karangan ilmiah akademik maupun ilmiah popular yang memiliki urut-urutan.

Semula adalah keresahan di dalam diriku ketika harus berhadapan denganmu. Lalu kutemukan sebuah rumusan masalah yang harus aku selesaikan agar keresahan ini terbang dan hilang. Aku mulai membuat judul tentang kisah ini. Antara aku dan kamu. Ternyata kisah ini harus berceloteh tentang cinta. Tidak apalah, namanya juga manusia. Bukan robot kan?


Ketika masuk dalam tahap tentang apa yang sebenarnya melatarbelakangi. Aku mulai kebingungan. Masalah cinta bukanlah masalah mudah yang selamanya dapat diselesaikan dengan logika. Aku mencoba semampuku untuk membuatnya. Rupanya ada sesuatu yang mendasari kisah ini. Bolehlah aku meneruskan cerita ini.

Tujuanku pun mulai kutuliskan ketika aku telah mengambil sikap untuk mengetik kisah tentang ini. Aku mulai ragu tak tahu arah. Kehadiranmu sungguh merenggut daya pikirku tapi meliarkan rasaku. Berhadapan dengan kisah seperti ini memang membutuhkan kesadaran luar biasa.

Kemudian, aku mulai menggunakan segala ilmu tentang cinta yang pernah diungkapkan oleh para pakarnya. Namun tidak kutemukan keselarasan dengan yang aku alami. Begitulah cinta merupakan pengalaman pribadi yang terkadang teori para pakar pun tak mampu berkata-kata lebih selain diriku sendiri.

Pada bagian selanjutnya aku telah mengisi kisah ini dengan berbagai macam peristiwa yang menyentuh. Masalah-masalah yang dulunya pernah kurumuskan ingin segera kupecahkan. Terkadang rasa lelah mengujungi untuk mengisi bagian ini. Sangat berbeda dengan makalah-makalah lainnya. Seringkali masalah-masalah muncul dan terumuskan pada bagian ini. Semakin banyaklah isinya nanti.

Di sini hanya ada masalah lagi dan isi yang tiada henti. Kisah ini masih terus berjalan walaupun terkadang harus terhenti karena masalah yang bertubi-tubi sedangkan aku tak sanggup mengisi dan mengatasi. Sehingga kisah ini tidak akan pernah sampai pada bagian penutup yang memberikan kesimpulan. Biarlah yang lebih kuasa yang mengakhiri perjalanan kisah ini seberapapun jauh langkah kaki.

Senin, 06 Juli 2015

Merasakan Cengkeraman Misteri

Banyak pertanyaan yang lahir untuk diri sendiri. Kadang aku hening untuk mencari jawabannya atau diam-diam memikirkannya. Pertanyaan pun tak mengenal waktu dan tempat hingga terkadang sangat menguasaiku. Lahirnya pertanyaan yang tanpa ibu tersebut melahirkan kebingungan dalam diriku. Tidak pernah kutahu dari mana asalnya tapi pertanyaan-pertanyaan itu memang ada.

Pertanyaan itu telah mencengkeram realita hidupku. Hidupku semakin terasa sulit ketika pertanyaan yang sulit menjadi sulit kupecahkan. Cengkeramannya seringkali ada di dalam kepalaku dari pagi hingga matahari hendak terbit lagi. Kegiatan apapun selalu diboncengi oleh pertanyaan-pertanyaan misterius itu sehingga terasa beratlah hari-hari ini.

Pertanyaan-pertanyaan penuh misteri itu seperti perampok yang memasuki ruang-ruang hidupku dan sepertinya telah mengacak-acak ruang itu lalu mengambil sesuatu. Aku seperti kebingungan untuk melihat siapa sesungguhnya dia yang telah berbuat seperti itu. Apakah hanyalah rekayasa yang aku buat sendiri ataukah dia memang benar-benar ada.

Semuanya masih menjadi misteri. Pemberi pertanyaan dan pertanyaannya. Kemudian tentang bagaimana dia masuk dengan paksa ke dalam ruang hidupku dan apa yang sebenarnya dia kehendaki. Logikaku sudah tidak mampu menjangkau itu. Akhirnya, aku hanya bisa terus melangkah bersama misteri yang setiap saat dan setiap waktu bisa menghampiri hidupku.

Sepertinya merasakan cengkeraman misteri lebih indah daripada bertarung logika untuk memecahkannya.

Minggu, 05 Juli 2015

Terlukai tetapi Tidak Terkulai

Mengungkapkan isi diri yang terlukai tidak mungkin akan terhenti. Isi diri tidak diatur diri lainnya karena hanya dirilah yang mengatur dirinya sendiri. Bukan menganggap diri lain tidak bisa mempengaruhi diri. Akan tetapi semuanya tergantung diri sendiri seberapapun besar pengaruh diri yang lain.

Aku memang mengakui bahwa diri ini tidak mungkin menjadi diri sendiri tanpa diri lain. Aku juga tahu bahwa unsur pembentuk diri ini adalah diri lain karena pada mulanya diri ini adalah diri yang tak punya diri. Walaupun kamu mengelak tentang diri tapi percayalah bahwa diri ini senantiasa bergejolak untuk menjadi diri ke diri yang selanjutnya. Aku mengatakan tentang perkembangan diri menurut diriku sendiri.

Aku pernah terlukai karena diri ini memang menghadapi sesuatu yang bisa melukai. Namun, aku juga heran tentang diri yang membuat seolah-olah diri terlukai padahal tidak ada yang melukai. Diri terkadang berbuat sesuatu melebihi kenyataan yang dihadapi oleh diri. Begitulah romantisme diri yang membuat halaman-halaman yang lebar daripada merasakan rumah itu sendiri.

Aku pun belajar dari diri yang terkadang semaunya sendiri. Kadang diri ini ingin terkulai karena terlukai. Diri ini ingin merasakan diri yang tak berdaya dan menjadi diri yang ingin merasakan sakit sekali atau tidak sama sekali. Rupanya diri ini ingin hidup total pada keadaan yang sedang dihadapi. Akan tetapi aku ingin berusaha tidak terkulai walaupun terlukai. Aku masih ingin menjadi diri yang selanjutnya. Bukan diri yang merapuhkan diri sendiri seperti saat ini.

Sabtu, 04 Juli 2015

Kecederaan Menyibakkan Ragam Ketakutan

Kamulah penjahat yang mencederaiku. Membegalku di tengah kawanan perasaan. Kamu telah merenggut ketenanganku. Menyibakkan tirai jendelaku. Kemudian menghadiahkan kepadaku ketakutan. Selanjutnya, kamu mulai menarik milikku di tengah pelarianmu. Aku mengejarmu tapi kecepatmu melebihi kecepatanku. Aku pun tertunduk dan mulai mengikhlaskan semua itu.

Pengalaman itu mendidikku menjadi penikmat kecederaan. Ragam ketakutanku pun semakin tak terhitung jumlahnya. Aku menerimanya dan menjadi diri yang terpanggil mengoleksi kesengsaraan. Aku mulai pasrah untuk gemar menderita. Namun, sengatannya membuatku bergerak tanpa bisa kukendalikan.

Secara tidak sadar aku mulai sadar untuk bersandar pada kesengsaraan. Kecederaan telah menyibak ragam ketakutan. Walaupun terkadang aku perlu konsensus dengan diriku sendiri untuk menyelesaikan pertentangan dalam diri yang mendambakan ketenangan. Ingkar diri memang sering kulakukan untuk mewujudkan.

Dari sebuah kecederaan. Aku mulai bergerak lebih berani dan tidak lagi menakutkan kecederaan lainnya. Bukannya aku tolol harus menerima kecederaan lagi. Namun, semakin rajin dia mengusap diriku akan semakin sering pula ragam ketakutan kukenal dan aku bisa bersahabat dengannya.

Jumat, 03 Juli 2015

Deraan Kesepian dan Pahlawan Kegelapan

Hantaman masalah tak membuatku bermasalah. Aku masih biasa menanggapi itu semua. Sudah sewajarnya manusia menaklukkannya. Akan tetapi, deraan kesepian merupakan masalah yang paling menakutkan. Aku bisa tak berdaya mengatasinya. Aku menjadi putus asa hingga susah untuk menyambung itu semua. Aku menjadi amnesia bahwa aku adalah manusia.

Ruang-ruang kosong harus terisi. Pengisi ruang itu tak tentu ada dan terkadang hanya datang dan pergi. Ruang kosongku hanya menjadi lahan untuk menari hingga menjadi lelah lalu sepi. Pikiran berkecamuk untuk memenuhi ruang itu karena sangatlah penting ruang itu berpenghuni.

Aku pernah merasakannya. Ketika ruang itu terisi segala masalah bukanlah masalah. Semua yang berat menjadi ringan. Pengisi ruang itu telah menjadikanku layaknya manusia berkekuatan ganda. Langkah kakiku tak ragu untuk menghadapi level-level kehidupan yang terus meningkat dan bertingkat.

Ketika deraan kesepian itu datang dengan cekamannya dan aku dalam cengkeramannya. Jadilah aku kegelapan yang terpaksa mengikuti geraknya. Aku bukan lagi manusia tapi serigala bagi sesama. Aku merasa deraan itu menjadi cambuk yang membakar dadaku hingga membuatku seperti pemangsa. Mencari kepenuhan ke sana ke sini untuk ruang hampa itu. Akulah pahlawan kegelapan yang didera kesepian. Pahlawan kegelapan yang tidak tahu lagi caranya menemukan kunci ruang terang yang sering didambakan.

Kamis, 02 Juli 2015

Mengais Duka untuk Mengolah Rasa

Matahari menyinari dan bulan menaugi. Perpindahan waktu menjadi pertanda dinamika rasa. Siang hari aku harus menjamah setiap kegiatan yang akhirnya menjadi keharusan. Malam hari aku berdiam diri sementara pikiran tak pernah lelah berlari. Siang hari tanganku harus bergerak meraih sedangkan malam hari kekalutan pikiranku mengais makna yang masih tercecer dan bertumpukkan dengan hal lainnya.

Semakin duka mengayomi hidupku semakin makna itu merasuk dalam tubuhku. Sakit dan lelah sudah pasti. Aku tidak bisa mengelak lagi. Malahan akulah yang sering tersungkur untuk menghadapi semua itu. Duka telah mencipta aku. Lelah telah menjadikanku sejenak beristirahat untuk menjadi kuat. Menikmati setiap duka sembari mengolah rasa.

Aku yakin setiap orang punya dukanya sendiri-sendiri. Tidak mungkin bisa terus bertahan dalam suka. Tapi menjalani duka dan suka dengan semestinya semakin membuatku merasa manusia. Banyak orang bergerak karena duka menyelimuti dirinya. Walaupun tak sedikit pula yang hancur karenanya. Perkara apapun selalu mempunyai sudut bahagianya ketika aku bisa memetiknya.

Menjalani hari dari sudut bahagia adalah istimewa. Mengais duka dengan bahagia untuk memperoleh makna yang menjadikanku tetap manusia. Aku bisa mengolah rasa hingga merasa aku tetap ada dengan setiap hal yang memang seharusnya menjadi bagian dari manusia. Ijikanlah aku mengais duka untuk mengolah rasa hingga mencapai bahagia.

Rabu, 01 Juli 2015

Merawat Luka Menganga dalam Deburan Ombak

Pengalaman terluka pernah menghampiri siapa saja. Dijenguknya menjadi pertanda bahwa dunia memang ada. Setiap goresan dan sayatan membuat perih kehidupan. Pilu menyelubungiku ketika aku harus beromantisme dengan peristiwa yang menyajikan luka. Sebuah pengalaman yang pada mulanya terjadi karena aku menginginkan kebahagiaan.

Mendapatkan kebahagiaan adalah dambaan dan impian yang terus diperjuangkan. Aku mendapatkan karena orang lain memberikan dan aku harus mencari ketika hal itu tidak pernah dihidangkan. Layaknya santapan lezat, kebahagian ingin kunikmati setiap waktu dan dalam takaran yang secukupnya saja agar aku tetap bertahan. Aku tidak menginginkan porsi yang lebih karena aku tahu bahwa tidak bisa bergerak aku dalam kekenyangan.

Semua bisa terhempas jauh ketika kebahagian yang mulanya selalu menaungi hidupku harus terenggut oleh sesuatu yang tak mungkin aku jelaskan. Segala cara sudah kucoba termasuk mempermainkan logika dan menahan rasa. Aku telah mengalah untuk tidak menjadi diriku yang sebenarnya hanya untuk memperoleh kebahagiaan yang mungkin semu.

Kepergianya membuat luka yang sebenarnya adalah ciptaan dari perasaanku sendiri karena tidak terbiasa dan lupa caranya kembali menjadi yang semula. Aku tak berdaya selepas itu sementara deburan ombak tak henti-hentinya menghantam luka. Mengandung garam yang membuat luka-luka itu menjadi perih dan terkadang aku harus mengerang kesakitan di ruang kedap suara. Tak seorang pun mendengarnya.

Rupanya aku harus merawat luka yang sedang menganga di tengah deburan ombak. Berharap cepat sembuh dan aku bisa berlari seperti pada mulanya dan melahap setiap kebahagian dan kesedihan yang kutemui sepanjang jalan tempatku memacu kakiku.